Jumat, 27 Januari 2012

Mulanya Dipikul, Kini Bermobil

Pengrajin Anyaman Bambu, Suparno

Usahanya dimulai pada 1985. Saat itu, ia menjual hasil anyaman di obyek wisata Telaga Sarangan. Anyaman bambu berupa vas bunga dan kuda lumping. “Saya pikul dagangan di pinggiran telaga,” kenang Suparno.

Sebelum memulai usaha itu, lelaki empat anak ini, sempat menjadi buruh tani. Ia mencangkul, dan memanen padi milik orang lain. Buruh tani keliling. Dari desa ke desa. Perjalanan itu, membuat bekerja menganyam bambu di tempat Kasdi, salah satu penduduk Ringin Agung.

“Semula saya sudah mau transmigrasi ke Sumatra, namun karena tak punya ongkos, akhirnya saya menganyam. Hasilnya saya jua ke tempat penjualan souvenir,” jelasnya.

Penduduk Dukuh Watangan ini kemudian berpikir untuk menjual hasil anyamannya langsung pada konsumen. Ia memilih untuk jualan di Sarangan. “Laba bersih yang saya dapat saat itu hanya Rp. 5.000 rupiah,” tutur Suparno.

Hari demi hari, ia jalani. Lama kelamaan, Suparno mulai dikenal para wisatawan telaga Sarangan. Hal itu menyebabkan pesanan padanya semakin meningkat. Yang awalnya hanya membuat Vas bunga dan kuda lumping kemudian membuat tempat koran. “Saya dulunya membuat dan menjualnya sendiri.” Kenangnya.

Ketekunan membuah hasil. Pada tahun 1990-an, ia mulai kewalahan dalam memprodusi dan memasarkan kerajinannya. Pesanan yang datang tidak hanya dari Kabupaten Magetan. Pesanan berasal dari Yogyakarta dan Surabaya.

Melihat, Suparno kerepotan dengan bisnis yang dijalani. Anak-anaknya ‘turun tangan’.

Kini, pemilik home industry “Bambu Murni” telah memiliki 20 karyawan. Sebagian karyawan adalah pemuda putus sekolah.

Pasar bertambah. Kini, ibukota dilirik. Untuk memperlancar pemasaran hasil kerajinannya, Suparno membeli sebuah mobil box dan satu mini bus. Ia juga membuat tiga rumah produksi. nan


| Baca juga... |

0 komentar:

Posting Komentar