Senin, 19 Desember 2011

Sondang Hutagalung Tragedi Indonesia


oleh Muhammad A S Hikam pada 12 Desember 2011 pukul 2:20
Seorang Kyai teman saya tidak setuju jika aksi bakar diri (self immolation) yang dilakukan oleh Sondang Hutagalung (SH) dianggap sebagai sesuatu yang baik, apalagi perbuatan kepahlawanan. Pak Kyai tadi memahami tindakan tersebut sebagai sebuah keputus asaan dan berada di luar agama. Menghancurkan diri sendiri adalah sebuah perbuatan yang dilarang dalam agama apapun. Kalaupun orang tidak sepakat dengan suatu kondisi dan kemudian melakukan protes, maka tidak perlu dengan melakukan penghancuran, termasuk terhadap diri sendiri. Lalau apa bedanya dengan pelaku bom bunuh diri? Bukankah pelaku bom bunuh diri seperti Syarif di Cirebon itu juga berpretensi sedang melakukan "perjuangan" melawan ketidak adilan atau penindasan versi dirinya dan kelompoknya? Pantaskah kita memberikan nilai positif kepada SH jika kita telah menilai negatif terhadap para teroris?

Pandangan Pak Kyai sudah barang tentu tidak bisa dijawab secara hitam ptih. Justru pertanyaan beliau menurut hemat saya harus dijawab secara hati-hati dan mempertimbangkan banyak aspek. Bagaimanapaun juga, bagi masyarakat dan bangsa serta negara kita, aksi SH tidak memiliki presedennya, tidak ada contoh sebelumnya yg bisa dipakai sebagai rujukan. Ia jelas beda dengan orang yg mmbunuh anaknya karena kelaparan, misalnya. Aatau orang yang bunuh diri karena putus asa dalam hidup. Yang membuat aksi SH sangat mencengangkan dan sekaligus kontroversial adalah karena dalam memori kolektif manusia Indonesia, tidak pernah ada bahkan terpikirkan bahwa pada suatu hari seorang muda belia dan terpelajar melakukan sebuah aksi protes dengan membakar diri sampai mati.Dan lebih mencengangkan lagi, aksi SH dilakukan BUKAN dalam konteks perlawanan terhadap sebuah rezim yang benar-benar telah melakukan pelanggaran ekstrem di bidang HAM atau sebuah kekuasaan dzlim seperti Fasisme atau totaliterisme. Yang diprotes adalah sebuah kekuasaan (kalau memang benar demikian) yang walaupun banyak kelemahan dan kekurangan, tetapi masih konstitusional dan jauh dari fasistis atau totaliter. Pemerintah SBY memang bukan sebuah pemerintahan yang sempurna. Jauh dari itu. Tetapi ia juga bukan sebuah pemerintahan yang dapat dianggap gagal. Ia adalah rezim yang memerlukan kritik, koreksi, dan tekanan agar melakukan apa yang sudah dijanjikannya dalam platform politik partainya, dan yang diamanhkan oleh konstitusi sebagai dasarnya. Pemerintah SBY jelas memiliki kelebihan dalam soal HAM dan kebebasan politik dibanding dengan Orba, misalnya.Itulah sebabnya aksi SH sangat mengejutkan dan benar-benar menonjok psyche manusia Indonesia. Belum terasa memang, karena masih terlalu dekat jarak antara kematian SH dengan kesadaran betapa telah terjadi suatu perubahan yang sangat mendasar dalam cara hidup bangsa ini. Penyikapan Pak Kyai, temnan saya tadi, adalah sebuah refleksi kebijakan konvensional (conventional wisdom) terhadap sebuah anomali yang luar biasa dalam kasus SH. Tetapi saya juga membaca bahwa reaksi Pak Kyai adalah ekspressi ketidak berdayaan nilai-nilai lama terhadap munculnya disrupsi-disrupsi atau mungkin rupture yang terjadi pada msayarakat modern dan paska-mor\dern di Indoneisa!Saya tentu tidak mampu memberikan kata putus terhadap pertanyaan Pak Kyai. Sebagai orang yg berada dalam habitus konvensional, saya pun tidak sepakat dengan aksi SH. Tapi saya juga berusaha memahami bahwa itulah fenomen yang sedang dan akan muncul di dalam masyarakat Indonesia yang semakin kompleks. Kompleksitas Indonesia sudah tidak mungkin lagi diwadahi oleh konvensi-konvensi yang kita pakai dan yang membuat kita nyaman selama ini. Munculnya generasi SH yang memiliki cara pandang dunia yang lain sama sekali (termasuk terhadap ajaran agama dan tatanan etika) mau tidak mau harus kita terima dan pecahkan (kalau memang dianggap sebuah masalah). Sebab segala macam yang kita anggap sebagai kemapanan, saat ini menjadi berantakan dengan semakin kompleksnya hubungan manusia satu dengan yanglain serta kaitan antar-bangsa dan antar-budaya yang belum pernah terjadi sebelumnya.Saya hanya bisa mengatakan kepada Pak Kyai, karena saya tahu beliau orangnya sabar, bahwa kasus SH adalah tantangan bagi elite kita termasuk para agamawan untuk merumuskan suatu cara dan jawaban baru terhdap fenomena-2 sosial yang akan banyak "menyimpang" dan "aneh" serta "mencengangkan." Bangsa kita akan makin banyak menyaksikan keanehan kalau kita hanya berpijak pada conventional wisdom, atau jika kemampuan kita memahami gejala sosial hanya pas-pasan. Apalagi jika kita menjadi sangat tekstual dalm menggunakan \dan melaksanakan ajaran-ajaran.Apakah perbuatan SH sama nilainya dengan Syarif si pelaku bom bunuh diri di Masjid Polresta Cirebon? Saya katakan kepada Pak Kyai, tidak. SH melakukan protes thd apa yang dianggapnya tidak benar TANPA MEMAKSAKAN KEHENDAK KEPADA YANG LAIN. SH memang melakukan penghancuran, tetapi kepada diri sendiri sebagai sebuah tindakan yg mungkin menurutnya paling ultimate (tinngi) nilainya. Sementara, Syarif dkk. melakukan penghancuran kepada pihak lain secara random, atau acak, dengan tujuan ingin menghancurkan dan menggunakan kebencian terhadap yang lain. Apakah ini semacam justifikasi dari saya? Semoga saja tidak. Saya hanya mencoba memberikan "the benefit of the doubt" kepada SH yang saya anggap sebagai seorang aktivis yang memiliki komitmen tinggi terhadap perjuangan membela HAM. Sedangkan kepada para teroris, saya sama sekali tidak memiliki anggapan perlunya suatu benefit of the doubt bagi mereka.Apakah SH dan aksinya akan mendapatkan tempat dalam perjuangan menegakkan HAM dan demokrasi di negeri ini? Hanya sejarahlah yang akan menentukan.

| Baca juga... |

0 komentar:

Posting Komentar